Senin, 08 Desember 2008

CERITA PUYANG SUMATERA SELATAN

/Linny Oktovianny/

KHASANAH
kesusastraan daerah di Indonesia tersebar dari Sabang hingga Merauke. Kesusastraan tersebut lahir dari berbagai etnis, suku bangsa, yang berbeda gagasan, nilai, norma, dan aturan. Hal itu mencerminkan kekayaan khasanah kesusastraan daerah di Indonesia yang beragam baik bentuk maupun isi.

Minggu, 12 Oktober 2008

BUKAN SEKEDAR BAMBU


/linny oktovianny/

DALAM kehidupan berbudaya masyarakat, khususnya masyarakat Sumatera Selatan memiliki tradisi tulis dengan menggunakan media bambu. Di bambu-bambu itulah aksara tertulis. Aksara yang tertulis di bambu-bambu tersebut adalah aksara Ka-Ga-Nga. Aksara Ka-Ga-Nga sangat terkenal di Sumatera Selatan dan dikenal dengan nama yang beraneka ragam, seperti aksara Rencong, Surat Besemah (disesuaikan dengan daerah atau etnis masing-masing daerah), dan surat ulu. Dinamakan Surat Ulu oleh masyarakat pendukungnya karena umumnya kata “ulu” atau “uluan” merupakan sebutan bagi masyarakat atau budaya yang berada di luar Palembang, terletak di bagian ilir aliran sungai di Sumatera selatan.

Jumat, 10 Oktober 2008

HIRING-HIRING AKANKAH TINGGAL CERITA?


/linny oktovianny/

Kabupaten OKU Timur terletak di Provinsi Sumatera Selatan dengan ibukota Martapura, yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.37 Tahun 2003 . Kabupaten yang merupakan pemekaran dari kabupaten Ogan Komering Ulu ini, kini lebih memiliki keleluasaan untuk menggali dan mengembangkan potensi yang ada di daerah tersebut. Salah satu potensi yang ada di daerah ini adalah kehidupan sastra lisan yang beragam bentuk maupun isinya. Sastra lisan yang tersebar di daerah OKU Timur ada yang berbentuk puisi dan prosa. Salah satu sastra lisan yang berbentuk puisi adalah Hiring-hiring atau iring-iring.

Hiring-hiring merupakan pantun bersahut antara muda-mudi di zaman tahun 1960-an pada saat menyambut bulan bulan bara atau bulan Purnama yang jatuh pada tanggal 14 setiap bulan. Selain itu hiring-hiring dapat dituturkan pada saat acara ningkuk malam pengantin (berlangsungnya pesta pernikahan), malam bulan bara, dan nunggal, saat acara bujang gadis yang dipimpin ketua bujang (meranai) dan ketua gadis (muli). Saat ini hiring-hiring digunakan sebgai sumber motivasi untuk pembangunan masyarakat, namun masih saja sarat dengan pesan-pesan budaya nenek moyang bangsa, di antaranya rendah hati, disiplin, rela berkorban demi kepentingan daerah, dan sebagainya.

Hiring-hiring yang dituturkan saat pertunangan maupun pernikahan tentunya memiliki diksi-diksi tempatan yang berbeda. Ada juga hiring-hiring yang bercerita mengenai sejarah. Hal ini tentu saja berguna agar masyarakat khususnya generasi muda paham akan cerita latar belakang sejarah.

Setakat ini, di tengah kemajuan ilmu dan teknologi sudah jarang orang yang dapat dan fasih menuturkan hiring-hiring, dikhawatirkan suatu saat apabila tidak ada upaya untuk mengatasi masalah ini, dikhawatirkan musnahnya sastra lisan hiring-hiring ini, dan bukan mustahil kita akan kehilangan hiring-hiring yang pernah menjadi identitas masyarakat Komering.


Sebetulnya, ada berbagai upaya untuk menumbuhkembangkankan hiring-hiring ini, antara lain melalui pertunjukan atau keramaian rakyat dan festival. Namun langkah yang paling efektif pengajaran hiring-hiring melalui dunia pendikan, seperti kegiatan ekstrakurikuler, seni budaya, maupun muatan local. Mudah-mudahan dengan cara yang demikian hiring-hiring tidak hanya menjadi cerita bagi anak-cucu kita kelak.


Berikut petikan Hiring-hiring:

1. Ram tong-tong ko di rakyat

Bai bakas tuhha ngura

Lapah sai hurik nekat

Ngunut se mak kung mangka

2. Ram diwai di Kemering

Iwa na nimbah timbah

Langgian jala jaring

Baka ninjuk mak susah

3. Rakyat di OKU Timur

Suku nan lamon nihhan

Tapi mak simpang siur

Sebiduk sehaluan

4. Purikah perabasa

Cingcingan jak lom hati

Mak emas kimak cawa

Mak inton kimak budi

5. Kintu di terak gawi

Kunyin na cirub ragom

Mawas manom herani

Mak mungkir atot seram

6. Rakyat di OKU Timur

Unyin mak pandai buya

Tiap rani bu sukur

Sembahyang mak mat lupa

7. Batu henni Kemering

Lamon liyu jak iwa

Belitang ngari rinjing

Baka nunggang mak buya

8. Kemering Jawa Bali

Sunda Ugan rik Padang

Mak ketinangan lagi

Kinjuk sanga kerumpang

9. Wat mulih rupa hibbah

Jak ninik muyang paija

Mak salah lahgu rebah

Mak bangsa cadang bakna

10. Rasa hurik mak numpang

Walau bubeda suku

Martapura Belitang

Nutuk Pak Herman Deru


Terjemahannya:

1. Kita perhatikan rakyatnya

Perempuan, lelaki tua dan muda

Kehidupannya penuh tekad,

Mencari rezeki agar sejahtera

2. Kita masuk wilayah Komering

Ikannya sangatlah banyak

Alat-alat perangkap, seperti sedok, jala, dan jaring

Untuk menangkap ikan telah siap

3. Rakyat di OKU Timur

Terdiri dari berbagai suku

Tapi rukun itu menjadi kunci dalam wadah

Sebiduk satu tujuan

4. Berbicara dengan tata krama dan tutur sapa

Memang sudah lama tertanam di hati

Tutur sapa bernilai emas

Tata krama bernilai intan permata

5. Kalau mengerjakan pekerjaan

Semuannya gotong royong dengan tulus

Siang malam pekerjaan itu

Tiada mundur setapak pun

6. Rakyat di OKU Timur

Tiada pernah merasa lelah

Tiap hari selalu bersyukur

Kerjakan sembahyang tiada lupa

7. Batu koral pasir Komering

Sangat banyak sekali

Daerah Belitang yang membuatkan bakul untuk mengambilnya

Agar pekerjaan itu tiada mengalami kesusahan

8. Komering, Jawa, dan Bali

Sunda, Ogan, dan Padang

Tiada tercecer lagi

Satu kesatuan yang utuh

9. Ada sebuah hibah

Dari nenek moyang dahulu kala

Semakin berisi semakin merendah

Tidak akan mengurangi harga diri

10. Merasa kehidupan ini tenang

Walau berbeda suku

Martapura Belitang

Mengikuti jejak Pak Herman Deru

Jumat, 27 Juni 2008

Legenda Pulo Kemaro

SALAH satu legenda yang sangat populer di tengah masyarakat Palembang dan Tiongha adalah Legenda Pulo Kemaro ‘Legenda Pulau Kemarau’. Legenda Pulo Kemaro telah diwarisi turun-temurun secara lisan antargenerasi melalui alat pembantu pengingat (mnemonic device). Wajar saja apabila dijumpai banyak versi mengenai cerita legenda Pulo Kemaro. Hal ini disebabkan karena cara penyebarannya yang dari mulut ke mulut (lisan) bukan cetakan atau rekaman, sehingga ada proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation). Proses interpolasi merupakan penambahan atau pengisian unsur-unsur baru pada cerita yang diperoleh melalui warisan lisan sehingga dengan mudah dapat mengalami perubahan. Meskipun begitu perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.

Satu versi menyebutkan bahwa zaman dahulu hubungan dagang antara Palembang dan Cina berlangsung baik sehingga terjadi perkawinan antara putra Palembang dan putri Cina. Setelah menikah Putri Cina tersebut menetap di Palembang. Nama Putri Cina itu setelah menikah bernama Siti Fatimah.

Ketika ada pedagang Cina yang akan ke Palembang, sang Ibu menitipkan emas permata kepada anaknya Siti Fatimah karena sudah lama tak berjumpa dengan anaknya dan saking sayangnya ibunya kepada Siti Fatimah. Namun karena pada zaman dahulu banyak perompak di perairan Sungai Musi maka emas permata tersebut dimasukkan di dalam guci dan dilapisi dengan sayur sawi. Lama kelamaan karena perjalanan yang jauh sawi-sawi yang berfungsi untuk melapisi emas permata tersebut busuk.

Ketika sampai di Palembang, guci titipan dari orangtua Siti Fatimah tersebut diserahkan oleh pedagang dari Cina kepada Siti Fatimah. Betapa terkejutnya Siti Fatimah ketika dibukanya guci titipan Ibunya dari negeri Cina hanya berupa sawi-sawi yang sudah membusuk. Siti Fatimah kecewa dan marah, lalu guci-guci tersebut dibuangnya ke laut. Sampai guci yang ketujuh akan dibuangnya ke sungai, terbenturlah guci itu di tiang kapal sehingga pecah. Rupanya di bawah sawi-sawi yang telah membusuk tersebut terdapat emas permata. Lalu, seketika itu pula Siti Fatimah menyuruh suaminya mengambil guci-guci tersebut yang telah dibuangnya ke sungai.

Lama Siti Fatimah menunggu suaminya keluar dari sungai, namun tak juga muncul ke permukaan. Karena lama menunggu Siti Fatimah, akhirnya ia menyusul menyelam ke sungai. Tempat Siti Fatimah dan suaminya yang tenggelam tersebut menjadi pulau yang diberi nama Pulo Kemaro.

Versi lain menyebutkan bahwa ada seorang putra raja Cina bernama Tan Bun Ann berniaga ke tanah Palembang. Ketika di tanah Palembang, Tan Bun Ann jatuh hati dengan putri Palembang bernama Siti Fatimah. Tan Bun Ann dan Siti Fatimah saling jatuh hati. Tan Bun Ann pun menghadap ayah Siti Fatimah hendak melamar Siti Fatimah menjadi istrinya. Ayah Siti Fatimah memperbolehkan Siti Fatimah dilamar oleh Tan Bun Ann dengan mengajukan syarat kepada Tan Bun Ann agar menyediakan sembilan guci yang berisi emas. Ketika Tan Bun Ann memberitahukan perihal lamaran tersebut, keluarga Tan Bun Ann menyediakan sembilan guci emas. Karena khawatir akan keselamatan guci yang berisi emas tersebut maka guci-guci tersebut dilapisi sayur sawi.

Sesampai di tanah Palembang, Tan Bun Ann memeriksa isi guci tersebut. Betapa terkejutnya Tan Bun Ann ketika dilihatnya guci-guci tersebut hanya berisi sayur sawi yang telah busuk. Dengan penuh kemarahan Tan Bun Ann membuang guci-guci tersebut. Satu per satu guci-guci tersebut dibuangnya ke sungai. Sampai guci ketujuh yang pecah terkena kapalnya, terlihatlah oleh Tan Bunn emas yang ada di dalam guci tersebut.

Melihat hal tersebut Tan Bun Ann menyesali perbuatannya dan segera menyeburkan dirinya ke dalam sungai hendak mengambil emas-emas yang telah jatuh ke dalam sungai.

Melihat Tan Bun Ann tak muncul-muncul, akhirnya Siti Fatimah pun menyeburkan dirinya ke dalam sungai sembari berpesan, “Kalau ada tanah yang tumbuh di tepian sungai ini, berarti itu kuburan saya”.

Versi lainnya menyebutkan bahwa pulau ini adalah kapal Tan Bun Ann yang ditinggalkannya karena Tan Bun Ann menyebur ke sungai. Hal ini didasari bahwa bentuk Pulo Kemaro berbentuk seperti kapal.

Pulo Kemaro ‘Pulau Kemarau’ berarti pulau yang tidak pernah kebanjiran atau digenangi air meskipun volume sungai Musi sedang pasang. Pulo Kemaro terletak di sebelah timur kota Palembang dengan luas wilayah lebih kurang 24 hektar menyimpan misteri mengenai kisah cinta dua insan yang berbeda etnis yang saling jatuh cinta. Di Pulo Kemaro terdapat Klenteng Hok Tjing Rio dan di dalamnya terdapat Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin) yang merupakan dewanya umat Budha. Di Kompleks ini juga terdapat makam Siti Fatimah.

Cerita Legenda Pulo Kemaro tergolong legenda setempat karena berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat, dan bentuk topografi, yaitu dengan bentuk permukaan suatu daerah yang berbukit-bukit, berjurang, dan sebagainya.

Kini Klenteng Hok tjing Rio luasnya 3, 5 hektar merupakan salah satu bukti kehadiran Cina di bumi Sriwijaya. Di Pulo Kemaro kita dapat melihat harmonisasi antaretnis yang berbeda keyakinan.

Linny Oktovianny

Minggu, 08 Juni 2008

Andai-Andai Musi Banyuasin



MUSI BANYUASIN kaya dengan sastra lisan. Sastra lisan tersebut tersebar dan menjadi milik masyarakat Musi Banyuasin (Muba). Salah satu sastra lisan yang ada di Muba adalah cerita rakyat. Cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang di wilayah Muba disebut Andai-Andai.

Andai-Andai sudah diketahui masyarakat Muba sejak lama. Sebagai produk masyarakat kolektif masa lalu andai-andai memilik nilai-nilai yang dapat kita petik dengan cara mendengarkan lantunan cerita yang dituturkan penutur. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai-nilai kehidupan, nilai moral, dan nilai kepahlawanan. Melalui andai-andai kita dapat melihat gagasan-gagasan, pandangan kehidupan, sistem masyarakat, sistem kebudayaan, dan pesan-pesan yang hendak disampaikan dalam andai-andai. Tidaklah berlebihan, jika dikatakan andai-andai merupakan cermin pribadi masyarakat Muba masa lalu. Penuturan andai-andai adalah milik masyarakatnya, yang merupakan cermin budaya daerah yang harus dan perlu dilestarikan dalam upaya menumbuhkembangkan serta melestarikan budaya nisantara melalui budaya daerah, yang sering disebut sebagai kearifan lokal.

Pada masa lalu andai-andai dapat kita temui di berbagai daerah seperti Sungai Lilin, Babat Toman, Sanga Desa, Sekayu, Lalan, Bayung Lincir, Batanghari Leko, Sungai Keruh, Lais, Keluang, dan Plakat Tinggi. Andai-andai umumnya dituturkan oleh orang tua berusia empatpuluhan tahun ke atas baik laki-laki maupun perempuan dengan medium bahasa Musi. Umumnya penutur mewarisi cerita dari orangtua mereka. Andai-andai dituturkan pada malam hari, pada waktu senggang atau saat sedang beristirahat, dalam suasana santai pada saat orang tua, remaja, atau anak-anak sedang berkumpul di suatu tempat. Selain itu, andai-andai dapat dituturkan saat kenduri maupun saatpanen tiba.. Andai-andai dituturkan secara monolog oleh penutur. Tidak ada syarat untuk dapat menguasai andai-andai. Yang penting, penutur tahu dan paham cerita di sekitar kehidupan masyarakat Muba. Bagi masyarakat pendukung andai-andai, semakin menarik penutur menuturkan andai-andai, semakin betah pula pendengar mendengarkan andai-andai sampai selesai dituturkan. Biasanya karena nikmat mendengar andai-andai, pendengar akan larut dalam jalinan cerita yang dituturkan penutur.

Andai-andai ada yang panjang dan ada yang pendek. Penuturan andai-andai yang panjang memerlukan waktu berjam-jam lamanya bahkan semalam suntuk lamanya, sedangkan andai-andai yang pendek memakan waktu sebentar. Andai-andai yang panjang biasanya mengisahkan sejarah masyarakat Muba, contohnya Ranggonang. Andai-andai yang pendek umumnya berupa dongeng. Andai-andai ada yang berbentuk legenda, mite, dan dongeng. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Legenda ditokohi manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat yang luar biasa, dan sering dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya di dunia seperti yang kita kenal kini, karena waktu terjadinya belum terlalu lampau. Andai-andai yang berupa legenda adalah Rio Raos, Lubuk Gong, Gumamia, dan Raja Panenca. Mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohkan oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau bukan di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Contohnya Ginde Sugih, Anjing Menjadi Manusia, benda Ajaib, Dewi Selang, Puyang Ronan, dan Depati Konedah. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat, antara lain Bujuk dan Tupai, Beruk Sayang, Gadis cantik di Kebun Bunga, Wewe dan Siamang, dan Sang Kadolok.

Andai-andai yang pernah menjadi bagian penting dari kehidupan para pewarisnya telah lama berkembang sebelum sastra tulis digunakan sebagai wahana untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Dalam andai-andai kita dapat menggali sumber-sumber atau potensi fakta dan budaya yang meliputi (1) sistem genealogi, (2) kosmologi dan kosmogoni, (3) sejarah, (4) filsafat, etika, moral, (5) sistem pengetahuan (local knowledge), dan kaidah kebahasaan dan kesastraan.

Dengan memberikan perhatian secara lebih seksama, andai-andai akan lebih dikenal luas di kalangan masyarakat sebagai warisan budaya bangsa yang tak akan pupus ditelan masa. Andai-andai masih dapat menjadi bagian penting dari kebudayaan para pewaris aktif dan pewaris pasifnya. Bagi para pewaris aktifnya, andai-andai memiliki kekuatan dasar yang dapat dimanfaatkan. Kekuatan dasar pertama adalah kekuatan yang bermakna spiritual. Maksudnya pesan-pesan mulia yang tersembunyi dalam andai-andai dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam meningkatkan kwalitas kehidupan. Kekuatan dasar yang kedua adalah kekuatan yang bermakna ekonomis. Andai-andai yang berupa mite, legenda, maupun dongeng dapat menjadi komoditas yang laku dijual ketika andai-andai tersebut diangkat ke atas panggung, layar perak, layar kaca sebagai seni pertunjukan atau disajikan dalam bentuk sastra tulis berupa novel, roman, cerpen, atau pula dikemas dalam bentuk sandiwara radio. Siapa ingin mencoba? *Linny Oktovianny*

Foto Atas dan bawah: Anwar dan Majening. Selain dapat menuturkan senjang, Anwar dan Majening juga dapat menuturkan andai-andai



Kamis, 29 Mei 2008

Nyanyian Panjang: Berirama dan Lama

Penuturan Nyanyian Panjang di hadapan para pendengarnya

SESUAI dengan namanya nyanyian panjang, saat penutur melantunkan penuturan sastra lisan ini dilakukan secara berlagu dengan irama tertentu, seperti nyanyian dengan proses penuturan yang memakan waktu yang lama, yaitu berjam-jam lamanya. Nyanyian panjang merupakan salah satu genre atau bentuk folklore yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian. Nyanyian panjang dikenal luas oleh masyarakat pendukungnya. Ia hidup dan dihidupi oleh masyarakat tempat sastra lisan tersebut lahir, tumbuh, dan berkembang serta menjadi budaya yang tak terpisahkan dari masyarakatnya. Daerah di Sumatera selatan yang mengenal nyanyian panjang adalah sekitar wilayah Kabupaten Muara Enim, daerah Ogan termasuk di dalamnya Ogan Komering Ulu.

Nyanyian panjang berasal dari bermacam-macam sumber dan timbul dalam berbagai macam media tetapi identitas folkloritasnya masih dapat dikenali karena masih ada varian folklornya yang beredar dalam peredaran lisan (oral transmission). Nyanyian panjang dikenal juga dengan nama tembang panjang atau njang panjang. Dengan berbagai tema yang disuguhkan penutur kepada pendengar, nyanyian panjang mendapat tempat di hati masyarakat pendukungnya. Nyanyian panjang yang dikenal masyarakat pendukungnya adalah nyanyian panjang Raden Alit dan nyanyian panjang Sejarah Saman Diwa. Kisah kedua nyanyian panjang tersebut telah “membumi” di tengah masyarakat pendukungnya. Saat ini, nyanyian panjang telah muncul dengan cerita-cerita lisan yang beragam tetapi unsur kepahlawanan tokoh “pahlawan” dengan sosok yang memiliki kegagahan dengan keberanian dan kelebihan yang luar biasa menjadi suguhan yang menarik bagi pendengarnya.

Seperti halnya sosiokultural masyarakat pendukung sastra lisan tersebut lahir, tumbuh, berkembang, dan mendapat tempat di hati masyarakat, maka sarana atau alat yang digunakan saat penuturan cerita juga memiliki “warna tempatan”. Masyarakat pendukung nyanyian panjang adalah masyarakat petani, maka alat yang digunakan saat berlangsungnya penuturan oleh penutur adalah ayakan padi. Ayakan padi menjadi symbol masyarakat pedesaan yang menggantungkan hidupnya dari hasil-hasil pertanian.

Wilayah Sumatera selatan yang sebagian besar dilikupi oleh anak-anak sungai, maka terkadang ayakan tersebut digunakan oleh nelayan untu menangkap ikan atau menjadi wadah ikan. Terlepas dari kedua hal itu, ayakan padi bukan hanya menjadi imbol sosiologis masyarakat pendukung keberadaan nyanyian panjang, ayakan tersebut juga memiliki manfaat sebagai sarana kosentrasi dan pengingat. Melalui lubang-lubang pada ayakan, maka penutur akan tahu cerita yang telah dituturkan atau sedang dituturkannya.

Nyanyian panjang dituturkan dengan bahasa masyarakat setempat, seperti bahasa Ogan, Bahasa Belide, dan bahasa enim. Di masa lalu nyanyian panjang dituturkan saat panen telah tiba, saat ada hajatan masyarakat, seperti pesta pernikahan, pada acara khitanan, dan pada saat kelahiran bayi bahkan kalau ada orang yang meninggal dunia. Penutur nyanyian panjang umumnya adalah laki-laki berusia matang, kira-kira di atas tigapuluh tahun.

Dalam nyanyian panjang, kata-kata dan lagu-lagu merupakan dwi tunggal yang tak dapat terpisahkan. Ketika penutur melantunkan nyanyian panjang, teks (kata-kata) selalu dinyanyikan atau dilagukan oleh informan dan jarang sekali hanya disajakkan. Namun, antara teks yang satu dengan yang lainnya tidak selalu dinyanyikan atau dilagukan dengan lagu atau irama yang sama. Sering pula, lagu yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian panjang yang berbeda.

Sifat nyanyian panjang sering kali berubah-ubah baik bentuk maupun isi. Itu bagian yang tak terpisahkan dari budaya lisan. Nyanyian panjang merupakan milik kolektif masyarakatnya dan luas pula peredarannya karena disampaikan dari mulut ke mulut. Penyebarannya melalui lisan, sehingga dapat menimbulkan varian-varian.

Nyanyian rakyat yang tergolong pada nyanyian rakyat yang sesungguhnya menurut Brunvad dalam The Study of American Foklore An introductionadalah (a) nyanyian rakyat yang berfungsi adalah nyanyian rakyat yang kata-kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting. Disebut berfungsi karena baik lirik maupun lagunya cocok dengan irama aktivitas khusus dalam kehidupan manusia; (b) nyanyian rakyat yang bersifat liris, yakni nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya yang anonym itu, tanpa menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Sifat yang khas ini dapat dijadikan ukuran untuk membedakan nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya, karena yang terakhir justru menceritakan kisah yang bersambung. Banyak diantaranya yang mengungkapkan perasaan sedih, putus asa karena kehilangan sesuatu atau cinta, sehingga menimbulkan keinginan-keinginan yang tak mungkin tercapai; (c) Nyanyian rakyat liris yang bukan sesungguhnya, yakni nyanyian rakyat yang liriknya menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Ke dalam jenis nyanyian-nyanyian seperti: Spiritual and other traditional religious song (nyanyian rakyat yang bersifat kerohanian dan keagamaan lainnya).

Tidak ada syarat tertentu untuk dapat menuturkan nyanyian panjang, namun itu pun tergantung dengan kisahan yang akan dituturkan. Bagi penutur yang akan menuturkan nyanyian panjang Sejarah Saman Diwa harus punya hubungan darah dengan penutur sebelumnya. Selain itu, saat menuturkan nyanyian panjang sejarah saman Diwa sering kali penutur kesurupan, maka ayakan padi berfubgsi untuk dipukul-pukulkan penuturnya sebanyak tiga kali. Penutur yang akan menuturkan nyanyian panjang Sejarah Saman Diwa biasanya dengan berbagai sajen yang telah disiapkan terlebih dahulu. Sesajen tersebut berupa nasi pulut, ayam burik, pisang emas, serabi, bubur gemuk, beras kunyit, dan kemenyan.

Setelah sesajen disiapkan, mulailah penutur membakar kemeyan dengan membaca baca-bacaan tertentu biasanya bacaan tersebut dalam bahasa Arab. Saat itulah, penutur mulai mengingat jalinan kisah yang akan dituturkan secara lengkap dan dapat memanggil roh-roh orang yang telah meninggal dengan cara kesurupan. Mungkin, ini pulalah yang menjadi nyanyian panjang jenis ini tidak dapat bertahan karena penonton tidak bisa mendengarkan jalinan cerita dan takut kalau-kalau “kena sasaran” penutur yang sedang kerasukan.

Linny Oktovianny


Sabtu, 03 Mei 2008

Bujang Jamaran Cerita Orang Ogan


SELAIN, Cerita Bujang Jelihim yang terkenal di masyarakat Ogan, ada juga cerita Bujang Jemaran yang juga tidak asing lagi bagi masyarakat Ogan. Kedua cerita ini bermedium bahasa Ogan. Masyarakat Ogan secara geografis mendiami wilayah sebagian Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, dan OKU (sepanjang sungai Ogan bagian Ilir dan Ulu).

Meskipun antara Bujang Jelihim dan Bujang Jemaran merupakan tokoh sakti. Kedua tokoh sakti ini memiliki perbedaan. Bujang Jelihim merupakan tokoh yang dikagumi karena sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain tidak sombong, sabar, dan sopan. Sementara itu, Bujang Jemaran kurang disenangi masyarakat setempat karena meskipun memiliki kesaktian sehebat Bujang Jelihim, Bujang Jemaran cenderung memiliki kesombongan dan bersifat agak kasar.

Penuturan Bujang Jelihim disebut Jeliheman, sedangkan penuturan cerita Bujang Jemaran disebut Jemaranan. Penutur Jemaranan menggunakan irama yang dilagukan saat menuturkan jemaranan. Saat penuturan jemaranan biasanya penutur menggunakan ayakan padi. Seperti halnya, masyarakat yang hidup dengan bertani dan menangkap ikan, ayakan padi merupakan alat yang representatif untuk menggambarkan coran kehidupan dan mata pencarian utama bagi masyarakat Ogan, yang hidupnya sangat mengandalkan hasil pertanian, perkebunan, dan perladangan serta hasil sungai Ogan. Ayakan padi merupakan simbol bagi masyarakat pendukungnya.

Ayakan padi juga merupakan alat yang ampuh untuk mengosentrasikan diri dan mengingat setiap alur cerita yang sedang dituturkan penutur jemaranan. Sambil memejamkan mata, penutur jemaranan menundukkan kepala untuk mengingat dan berkosentrasi pada cerita yang dituturkan. Jemaranan dituturkan akan memakan waktu yang lama, maka ayakan padi sangat efektif menjadi alat untuk menghilangkan rasa malu bagi penutur karena biasanya penonton akan memandang terus ke wajah penutur yang sedang bercerita. Jemaranan biasanya dituturkan pada malam hari, ketika orang-orang sedang beristirahat karena penat seharian mencari nafkah dengan cara bertani atau berladang dan menangkap ikan.

Kisah jemaranan dapat dituturkan per episode, mengingat cerita Bujang Jemaran sangat panjang. Bahkan dapat berlangsung selama tiga hari berturut-turut.

Cerita Bujang Jemaran merupakan cerita panjang yang mengisahkan kehidupan Bujang Jemaran dengan berbagai konflik-konfliknya. Dimulai dengan perjumpaan Bujang Jemaran dengan Mesiring, Peperangan Bujang Jemaran dengan Mesiring dan Bangkas Kuning serta Pernikahan Bujang Jemaran dengan Terindung yang penuh tantangan dan hambatan.

Jemaranan di masa lalu dapat dituturkan saat panen telah tiba, kenduri masyarakat, maupun saat-saat pemilihan pesirah. Memang, belum dapat diketahui secara pasti kapan jemaranan hadir di tengah masyarakat Ogan karena sedikitnya data atau informasi yang dapat mendukung mengenai hal tersebut. Tiba-tiba masyarakat Ogan sudah mengetahui dan mengenal cerita Bujang Jemaran. Yang jelas, cerita Bujang Jemaran diperoleh melalui warisan dari mulut ke mulut.

Penutur jemaranan umumnya adalah laki-laki matang, berusia kira-kira empatpuluhan tahun ke atas. Sementara itu, pendengar jemaranan tidak dibatasi. Siapa saja yang tertarik untuk mendengarkan kisah Bujang Jemaran dengan berbagai liku-likunya, baik laki-laki maupun perempuan berusia muda atau pun tua, anak-anak maupun remaja dapat menjadi penonton jemaranan.

Kini, tidak banyak masyarakat Ogan yang dapat menuturkasn cerita Bujang Jemaran. Satu-satunya penutur yang masih hidup dan dapat menuturkan cerita Bujang Jemaran adalah Demsi, yang kini berusia lanjut.

Sebetulnya, tidak ada syarat khusus untuk dapat menuturkan jemaran. Yang penting tahucerita Bujang Jemaran dan yang terpenting mau dan giat belajar menjadi penutur jemaranan. Siapa berminat? Ayo, tunggu apa lagi.

Linny Oktovianny

Selasa, 08 April 2008

Seloka Adat Suku Anak Dalam (3)




Adat Suku Anak dalam tersebut ada tiga, yaitu rumah tangga (laki-bini), jadi kawin dan Waterbury. Adat rumah tangga (laki-bini) adalah meletakkan istri dalam adat. Maksudnya istri atau suami hendaknya tahu akan tugas dan kewajibannya.

Hal ini tercantum dalam seloka berikut.

Hak dan Kewajiban Suami

Nang kedelok Mau kucari

Lauq ikan Lauk ikan

Asem gerom Asam garam

Beju koin Baju uang

Kintang kali Merawat jika sakit

Huma tanom Ladang tanam

Hak dan Kewajiban Istri

Kayu aik Kayu air

Masak mato Masak mata

Tikar bantal Tikar bantal

Seloka di atas memperlihatkan perbedaan tugas kewajiban suami dan istri.

Adat laki-bini ini tidak boleh digunakan sembarang sesuai dengan seloka berikut.

Adat tiado hopi kupak Adat tiada boleh dilanggar

Memakai tiado boleh sumbing Memakai tiada boleh diubah

Apabila suami atau istri tidak memenuhi tugas dan kewajibannya akan didenda 40 kain atau dicerai. Apabila istri atau suami berselingkuh maka akan didenda 500 kain dan semua harta akan diambil. Perkara ini berhak diputuskan oleh penghulu.

Adat SAD yang terkenal adalah Pucuk Undang-Undang Delapan dan Teliti Duabelas. Pucuk Undang-Undang Delapan terdiri atas 4 (empat) Undang-undang di bawah, yaitu Sio Bakar, Amo Geram, Tantang Pahamun, dan Tabung Racun dan 4 (empat) Undang-undang di Atas, yaitu mencerah telur (Kawin dengan anak sendiri), melebung dalam (kawin dengan saudara sendiri), menikam bumi (kawin dengan induk/orang tua), dan mandi pancuran gading (kawin atau selingkuh dengan istri atau suami orang).

Jika terjadi kesalahan pada Pucuk Undang-Undang Delapan di Atas (mencerah telur, melebung dalam, menikam bumi, dan mandi pancuran gading) adalah kesalahan yang tidak dapat ditoleransi atau diampuni. Hal ini sesuai dengan seloka adat yang berbunyi sebagai berikut.

Beremai mati dak beremai mati Walaupun dibayar tetap mati

Salah tangan, tangan bekerat Salah tangan, tangan dipotong

Salah kaki, kaki bekerat Salah kaki, kaki dipotong

Salah mulut, mulut besait Salah mulut, mulut digaris/dipotong sebelah

Salah lidah, lidah bekerat Salah lidah, lidah dipotong

Salah mato, mato becukik Salah mata, mata diambil

Pucuk Undang-Undang Delapan yang di Bawah dan Teliti Duabelas adalah kesalahan yang masih dapat dimaafkan atau diampuni. Berikut adalah seloka mengenai hal ini.

Salah kecik bisah lepai Salah kecil bisa lepas

Salah besak bisah jadi kecik Salah besar bisa menjadi kecil

Rampoi rampik samin sakal Merampas, mencur, mengambil harta orang

(Seloka terpegang anak gadis orang)

Tesesat tejerami Tersesat terjerami

Tepegang tepakai Terpegang terpakai

Teecoh tekacau Memiliki Terpakai

(seloka terinjak tikar orang)

Setiap kesalahan besar atau kecil yang diperbuat oleh SAD diputuskan oleh penghulu. Sebelum perkara tersebut diputuskan dan apa pun bentuk perkara tersebut haruslah disertai bukti-bukti yang jelas. Hal tersebut sesuai seloka berikut.

Tampuk tangkai ciri tando Tampuk tangkai ciri tanda

Tanohnyo nang di parit Tanahnya yang digaris

Kayunyo nang di tekuk Kayunya yang ditekuk

Jika semua telah dibuktikan dengan benar maka si pembuat kesalahan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah dengan keadaan, sesuai dengan seloka berikut.

Tesekup dengen jalonyo nang bekandung tertutup dengan jala yang terkandung

Dalam kehidupan sehari-hari SAD berupaya tidak salah melangkah dan menyesal di kemudian hari seperti tampak dalam seloka berikut.

Saloh tijak salah langkoh salah tijak salah langkah

Saloh pandong saloh pengoli salah pandang salah penglihatan

Bertahun-tahun lamanya SAD hidup dalam hutan tanpa berkeinganan mengubah hutan. Hal ini tampak pada seloka adat “Merubah Alam” berikut ini.

Hopi ado idup segelonyo Tidak ada hidup semuanya

Hopi ado hati segelonyo Tidak ada hati semuanya

Kehidupan SAD sangat bergantung pada rimba. SAD hidup bersama suka-duka penuh keakraban. Seirang dengan berkurangnya hutan dan globalisasi setakat ini, kehidupan SAD juga terdesak. Bukan tidak mungkin suatu saat kita bukan hanya kehilangan hutan, tetapi komunitas SAD di dalamnya. Kalau begitu, siapa bertanggung jawab? /Linny Oktovianny/

Seloka Adat Suku Anak Dalam (2)


Saya di tengah hutan tempat komunitas Suku Anak Dalam, Jambi
Saya dan Tumenggung Tarif foto bersama di pondoknya. Tumenggung Tarif ini pernah mendapat penghargaan Kalpataru karena dedikasinya dalam merawat dan melestarikan hutan (foto:Linny)

Hutan bagi SAD merupakan sumber kehidupan. Mereka lahir, besar, dan akan mati di hutan. Tidaklah mengherankan bila hutan menjadi tempat istimewa bagi SAD. Hutan adalah tempat mereka berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara, dan menghidupi. Hutan juga menjadi sumber norma-norma, nilai-nilai, dan pandangan hidup mereka. Kehidupan SAD sarat dengan ritual. Kegiatan ritual SAD harus berlangsung dalam hutan dan steril dari orang luar. Dalam kegiatan ritual tersebut, SAD mempersembahkan berbagai jenis bunga-bunga kepada dewa-dewa yang mereka puja pada saat bedeker (besale), antara lain Dewa Kayu, dewa di laut, dewa di gunung, dewa di langit, Dewa Gajah. Dewa Harimau, Dewa Trenggiling, Dewa Siamang, dan dewa di gua. Bunga menjadi hal yang penting bagi SAD. Selain untuk memuja dan memanggil dewa-dewa, bunga juga menjadi syarat mutlak untuk bebalai ‘pesta pernikahan’. Hal tersebut tergambar pada seloka adat berikut ini.

Ado rimbo ado bungo (Ada rimba ada bunga)

Ado bungo ado dewo (ada bunga ada dewa)

Hopi ado rimbo hopi ado bungo (Tidak ada rimba tidak ada bunga)

Hopi ado bungo hopi ado dewo (Tidak ada bunga tidak ada dewa)

SAD mempunyai berbagai aturan yang diwarisi secara turun temurun. Kehidupan SAD sarat berbagai tabu dan pantangan disertai sanksi-saksi adat bagi yang melanggarnya. Hal tersebut tergambar pada seloka berikut.

Ditunjuk diajo (Sudah diberitahu)

Dak inget ditangi (Masih juga dilanggar)


/Linny Oktovianny/

Seloka Adat Suku Anak Dalam (1)


Hutan Taman Bukit Duabelas (TNBD) adalah sumber kehidupan. Mereka lahir, besar, kemudian akan mati meninggalkan alam hutan yang mereka pelihara sejak turun temurun. (foto:linny)

Jika kita menelusuri hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) di daerah Provinsi Jambi maka kita dapat menjumpai Suku Anak Dalam (SAD). TNBD merupakan habitat SAD. TNBD merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi, ditetapkan pemerintah menjadi kawasan Taman Nasional. TNBD dapat ditempuh selama 3 jam dari Pauh kemudian sekitar 2 jam ke wilayah Bukit Suban.

SAD merupakan sebutan Pemerintah untuk menyebut SAD yang berarti manusia minoritas di Pedalaman. Selain itu, SAD dikenal juga dengan sebutan Orang Rimba atau Orang Kubu. Orang Kubu merupakan sebutan yang digunakan oleh Orang Melayu Jambi dan Palembang terhadap suku yang menyebut dirinya “Orang Rimba”. Kubu dalam bahasa Melayu berarti blok-blok pertahanan yang dilakukan secara bergerilya di dalam hutan. Orang Rimba tidak suka disebut Orang Kubu karena sarat dengan konotasi negatif. Sementara, Orang Rimba nama yang digunakan untuk menyebut mereka sendiri sebagai manusia yang tinggal di Pedalaman Hutan Bukit Duabelas.

Sebagian ahli memperkirakan SAD berasal dari nenek moyang ras Melayu tua (proto Melayu). Versi lain menyebutkan, Orang Rimba berasal dari perpaduan orang Bongson dari daerah Vietnam dengan orang Yunan. Perkawinan ras ini menghasilkan ras Bioto Melayu atau orang Melayu dan orang Rimba. /Linny Oktovianny/