Selasa, 08 April 2008

Seloka Adat Suku Anak Dalam (2)


Saya di tengah hutan tempat komunitas Suku Anak Dalam, Jambi
Saya dan Tumenggung Tarif foto bersama di pondoknya. Tumenggung Tarif ini pernah mendapat penghargaan Kalpataru karena dedikasinya dalam merawat dan melestarikan hutan (foto:Linny)

Hutan bagi SAD merupakan sumber kehidupan. Mereka lahir, besar, dan akan mati di hutan. Tidaklah mengherankan bila hutan menjadi tempat istimewa bagi SAD. Hutan adalah tempat mereka berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara, dan menghidupi. Hutan juga menjadi sumber norma-norma, nilai-nilai, dan pandangan hidup mereka. Kehidupan SAD sarat dengan ritual. Kegiatan ritual SAD harus berlangsung dalam hutan dan steril dari orang luar. Dalam kegiatan ritual tersebut, SAD mempersembahkan berbagai jenis bunga-bunga kepada dewa-dewa yang mereka puja pada saat bedeker (besale), antara lain Dewa Kayu, dewa di laut, dewa di gunung, dewa di langit, Dewa Gajah. Dewa Harimau, Dewa Trenggiling, Dewa Siamang, dan dewa di gua. Bunga menjadi hal yang penting bagi SAD. Selain untuk memuja dan memanggil dewa-dewa, bunga juga menjadi syarat mutlak untuk bebalai ‘pesta pernikahan’. Hal tersebut tergambar pada seloka adat berikut ini.

Ado rimbo ado bungo (Ada rimba ada bunga)

Ado bungo ado dewo (ada bunga ada dewa)

Hopi ado rimbo hopi ado bungo (Tidak ada rimba tidak ada bunga)

Hopi ado bungo hopi ado dewo (Tidak ada bunga tidak ada dewa)

SAD mempunyai berbagai aturan yang diwarisi secara turun temurun. Kehidupan SAD sarat berbagai tabu dan pantangan disertai sanksi-saksi adat bagi yang melanggarnya. Hal tersebut tergambar pada seloka berikut.

Ditunjuk diajo (Sudah diberitahu)

Dak inget ditangi (Masih juga dilanggar)


/Linny Oktovianny/

Tidak ada komentar: