Jumat, 27 Juni 2008

Legenda Pulo Kemaro

SALAH satu legenda yang sangat populer di tengah masyarakat Palembang dan Tiongha adalah Legenda Pulo Kemaro ‘Legenda Pulau Kemarau’. Legenda Pulo Kemaro telah diwarisi turun-temurun secara lisan antargenerasi melalui alat pembantu pengingat (mnemonic device). Wajar saja apabila dijumpai banyak versi mengenai cerita legenda Pulo Kemaro. Hal ini disebabkan karena cara penyebarannya yang dari mulut ke mulut (lisan) bukan cetakan atau rekaman, sehingga ada proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation). Proses interpolasi merupakan penambahan atau pengisian unsur-unsur baru pada cerita yang diperoleh melalui warisan lisan sehingga dengan mudah dapat mengalami perubahan. Meskipun begitu perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.

Satu versi menyebutkan bahwa zaman dahulu hubungan dagang antara Palembang dan Cina berlangsung baik sehingga terjadi perkawinan antara putra Palembang dan putri Cina. Setelah menikah Putri Cina tersebut menetap di Palembang. Nama Putri Cina itu setelah menikah bernama Siti Fatimah.

Ketika ada pedagang Cina yang akan ke Palembang, sang Ibu menitipkan emas permata kepada anaknya Siti Fatimah karena sudah lama tak berjumpa dengan anaknya dan saking sayangnya ibunya kepada Siti Fatimah. Namun karena pada zaman dahulu banyak perompak di perairan Sungai Musi maka emas permata tersebut dimasukkan di dalam guci dan dilapisi dengan sayur sawi. Lama kelamaan karena perjalanan yang jauh sawi-sawi yang berfungsi untuk melapisi emas permata tersebut busuk.

Ketika sampai di Palembang, guci titipan dari orangtua Siti Fatimah tersebut diserahkan oleh pedagang dari Cina kepada Siti Fatimah. Betapa terkejutnya Siti Fatimah ketika dibukanya guci titipan Ibunya dari negeri Cina hanya berupa sawi-sawi yang sudah membusuk. Siti Fatimah kecewa dan marah, lalu guci-guci tersebut dibuangnya ke laut. Sampai guci yang ketujuh akan dibuangnya ke sungai, terbenturlah guci itu di tiang kapal sehingga pecah. Rupanya di bawah sawi-sawi yang telah membusuk tersebut terdapat emas permata. Lalu, seketika itu pula Siti Fatimah menyuruh suaminya mengambil guci-guci tersebut yang telah dibuangnya ke sungai.

Lama Siti Fatimah menunggu suaminya keluar dari sungai, namun tak juga muncul ke permukaan. Karena lama menunggu Siti Fatimah, akhirnya ia menyusul menyelam ke sungai. Tempat Siti Fatimah dan suaminya yang tenggelam tersebut menjadi pulau yang diberi nama Pulo Kemaro.

Versi lain menyebutkan bahwa ada seorang putra raja Cina bernama Tan Bun Ann berniaga ke tanah Palembang. Ketika di tanah Palembang, Tan Bun Ann jatuh hati dengan putri Palembang bernama Siti Fatimah. Tan Bun Ann dan Siti Fatimah saling jatuh hati. Tan Bun Ann pun menghadap ayah Siti Fatimah hendak melamar Siti Fatimah menjadi istrinya. Ayah Siti Fatimah memperbolehkan Siti Fatimah dilamar oleh Tan Bun Ann dengan mengajukan syarat kepada Tan Bun Ann agar menyediakan sembilan guci yang berisi emas. Ketika Tan Bun Ann memberitahukan perihal lamaran tersebut, keluarga Tan Bun Ann menyediakan sembilan guci emas. Karena khawatir akan keselamatan guci yang berisi emas tersebut maka guci-guci tersebut dilapisi sayur sawi.

Sesampai di tanah Palembang, Tan Bun Ann memeriksa isi guci tersebut. Betapa terkejutnya Tan Bun Ann ketika dilihatnya guci-guci tersebut hanya berisi sayur sawi yang telah busuk. Dengan penuh kemarahan Tan Bun Ann membuang guci-guci tersebut. Satu per satu guci-guci tersebut dibuangnya ke sungai. Sampai guci ketujuh yang pecah terkena kapalnya, terlihatlah oleh Tan Bunn emas yang ada di dalam guci tersebut.

Melihat hal tersebut Tan Bun Ann menyesali perbuatannya dan segera menyeburkan dirinya ke dalam sungai hendak mengambil emas-emas yang telah jatuh ke dalam sungai.

Melihat Tan Bun Ann tak muncul-muncul, akhirnya Siti Fatimah pun menyeburkan dirinya ke dalam sungai sembari berpesan, “Kalau ada tanah yang tumbuh di tepian sungai ini, berarti itu kuburan saya”.

Versi lainnya menyebutkan bahwa pulau ini adalah kapal Tan Bun Ann yang ditinggalkannya karena Tan Bun Ann menyebur ke sungai. Hal ini didasari bahwa bentuk Pulo Kemaro berbentuk seperti kapal.

Pulo Kemaro ‘Pulau Kemarau’ berarti pulau yang tidak pernah kebanjiran atau digenangi air meskipun volume sungai Musi sedang pasang. Pulo Kemaro terletak di sebelah timur kota Palembang dengan luas wilayah lebih kurang 24 hektar menyimpan misteri mengenai kisah cinta dua insan yang berbeda etnis yang saling jatuh cinta. Di Pulo Kemaro terdapat Klenteng Hok Tjing Rio dan di dalamnya terdapat Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin) yang merupakan dewanya umat Budha. Di Kompleks ini juga terdapat makam Siti Fatimah.

Cerita Legenda Pulo Kemaro tergolong legenda setempat karena berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat, dan bentuk topografi, yaitu dengan bentuk permukaan suatu daerah yang berbukit-bukit, berjurang, dan sebagainya.

Kini Klenteng Hok tjing Rio luasnya 3, 5 hektar merupakan salah satu bukti kehadiran Cina di bumi Sriwijaya. Di Pulo Kemaro kita dapat melihat harmonisasi antaretnis yang berbeda keyakinan.

Linny Oktovianny

Tidak ada komentar: