Minggu, 12 Oktober 2008

BUKAN SEKEDAR BAMBU


/linny oktovianny/

DALAM kehidupan berbudaya masyarakat, khususnya masyarakat Sumatera Selatan memiliki tradisi tulis dengan menggunakan media bambu. Di bambu-bambu itulah aksara tertulis. Aksara yang tertulis di bambu-bambu tersebut adalah aksara Ka-Ga-Nga. Aksara Ka-Ga-Nga sangat terkenal di Sumatera Selatan dan dikenal dengan nama yang beraneka ragam, seperti aksara Rencong, Surat Besemah (disesuaikan dengan daerah atau etnis masing-masing daerah), dan surat ulu. Dinamakan Surat Ulu oleh masyarakat pendukungnya karena umumnya kata “ulu” atau “uluan” merupakan sebutan bagi masyarakat atau budaya yang berada di luar Palembang, terletak di bagian ilir aliran sungai di Sumatera selatan.

Tidak hanya Sumatera Selatan yang memiliki aksara yang ditulis di atas bambu-bambu, melainkan daerah lain di indonesia juga mengenal dan menggunakan aksara Ka-ga-Nga dalam kehidupan tradisi tulis mereka. Daerah-daerah tersebut, antara lain daerah Kerinci dan Minangkabau mengenal aksara Ka-Ga-Nga dengan sebutan aksara rencong. Lampung dan Bengkulu juga menggunakan dan menyebut aksara ini dengan sebutan aksara Ka-Ga-Nga.
Di atas bilah-bilah atau kepingan bambu, aksara Sumatera Selatan tertulis. Hampir secara keseluruhan Surat Ulu atau huruf Ka-Ga-Nga tertulis di atas bambu, antara lain bambu betung (Dendrocolamuc Asper BACKER) atau juga yang sering disebut bambu besar karena berukuran besar. Bambu jenis ini juga dikenal dengan nama yang beraneka ragam, antara lain trieng betong (Aceh), pering betung (Lampung), awi betung (Sunda), dan deling betung (Jawa). Bambu betung masuk ke dalam suku Giganthochloa Dendrocolamus dengan ciri-ciri pohon bambu yang sangat kuat, tegak, merumpun dan tingginya dapat mencapai tigapuluh (30) meter, batangnya tidak tumbuh berjejalan, dan buku-bukunya sangat jelas.
Apabila bambu akan digunakan sebagai media yang akan ditulisan aksara Ka-Ga-Nga atau surat Ulu memiliki syarat-syarat tertentu agar bambu betung tersebut tidak berubah warna. Bambu tersebut harus terlebih dahulu direndam dengan air yang banyak dan waktu yang lama. Kemudian bambu betung tersebut harus dijemur hingga kering. Bambu-bambu yang biasa ditulisi aksara ini oleh masyarakat Sumatera Selatan, termasuk Palembang dikenal dengan nama gelumpai. Bentuknya berupa satu ruas bambu yang bulat dan ada juga yang terdiri dari beberapa keping bilah bambu.
Secara keseluruhan huruf Ka-Ga-Nga atau surat ulu yang berupa Gelumpai ini dapat juga kita temui di berbagai daerah di Sumatera Selatan. Salah satu tempat yang memiliki dan kaya akan gelumpai yang penting bagi pelestarian huruf Ka-Ga-Nga atau surat ulu adalah daerah Tanjung Keling dan Benua Keling, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam. Sayangnya, tidak sembarang orang yang dapat melihat bahkan memegang langsung gelumpai tersebut. Ada berbagai tabu-tabu dan mistis tertentu untuk dapat melihat benda yang sudah langka diketemukan ini. Persoalan ini, ibarat melihat dua keping mata uang. Salah satu kepingnya ada upaya untuk pelestariannya. Sementara, salah satu kepingnya, kita berhadapan dengan para pemilik naskah gelumpai ini yang masih memercayai tabu-tabu tertentu apabila naskah berbentuk gelumpai ini diperlihatkan oleh orang-orang apalagi orang yang baru dikenal. Pemilik naskah gelumpai ini mengkhawatirkan kalau-kalau dia dan keluarganya akan kualat karena memperlihatkan benda yang amat keramat ini.
Selain tesebar di masyarakat Sumatera Selatan, naskah berbentuk gelumpai ini dapat kita jumpai di Museum Balaputra Dewa, Palembang. Naskah berkode Inventaris 07.7 ini tanpa judul. Bambu bulat berukuran panjang 57 cm dan lingkar bambu 24 cm. Gelumpai (ruas bambu) ini merupakan ruas bambu yang seluruh permukaannya menggunakan huruf Ka-Ga-Nga atau surat ulu ini terdapat 17 (tujuh belas baris) yang isinya memuat petunjuk-petunjuk dalam mencapai manusia kebahagian hidup dan akhirat dan juga terkandung peringatan bagi manusia supaya tidak lupa diri. Keadaan gelumpai (Ruas Bambu) ini keadaannya cukup baik, dalam arti huruf-hurufnya masih dapat terbaca atau terlihat. Sayangnya, gelumpai ini sudah mulai berwarna kehitam-hitaman karena dimakan usia atau mungkin pada waktu pembuatan atau penulisan ini tidak menggunakan proses yang lazim apabila bambu jenis ini akan ditulisi aksara Ka-Ga-Nga.
Selain berbentuk gelumpai ruas bambu, ada juga untaian gelumpai yang sering disebut bila bambu yang juga merupakan koleksi Museum Balaputra Dewa, Palembang. Gelumpai ini ada 14 (empatbelas) keping bambu yang berbentuk seperti kipas. Terdapat tulisan yang menggunakan aksara rencong atau surat ulu, diperkirakan menggunakan bahasa Jawa Tengahan. Isi dari tulisan ini tentang ajaran Islam yang mengatur pranata kehidupan sosial kemasyarakatan. Untaian gelumpai ini berukuran panjang 14 cm dan lebar 4 cm dengan setiap bilah gelumpai berisi empat baris. Teksnya berupa prosa dengan tulisan surat ulu atau huruf Ka-Ga-Nga, berbahasa Palembang. Naskah ini terawat dengan baik dan masih dapat terlihat atau terbaca setiap huruf dalam teksnya. Kini untaian bilah bambu tersebut tinggal 14 bilah bambu, meskipun seharusnya ada 24 bilah bambu.
Perlu adanya upaya dan iklim yang kondusif agar pelestarian naskah lama mendapat tempat di hati berbagai kalangan masyarakat. Jika tidak, kita akan kehilangan budaya berupa tradisi tulis masyarakat Sumatera Selatan, yang tentu saja tak ternilai harganya. Melalui tradisi tulis kita dapat melihat dan mempelajari bahwa Sumatera Selatan sejak dulu kala telah memiliki budaya yang tinggi. Tidak ada kata terlambat untuk memulainya!

Tidak ada komentar: